Berantas.id,Palu – Kementerian Pekerjaan Umum melalui BPJN Sulteng (Balai Pekerjaan Jalan Nasional Sulawesi Tengah) terus mempercepat pembangunan infrastruktur tangguh di wilayah pesisir Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana, khususnya terhadap ancaman tsunami dan gempa bumi. Proyek ini sejalan dengan konsep Build Back Better (BBB) yang tertuang dalam Laporan Akhir Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada November 2021

Menurut Rizky Ananda, ST, MT, selaku PPK 2.5 (Pejabat Pembuat Komitmen) dari KASATKER (Kepala Satuan Kerja)PJN Wilayah ll Provinsi Sulawesi Tengah, pembangunan infrastruktur di kawasan rawan tsunami bertujuan untuk pemulihan dan revitalisasi mobilitas masyarakat serta jaringan logistik. Studi oleh komite penasihat Jepang tentang tsunami dan likuefaksi telah merekomendasikan peninggian jalan sebagai langkah mitigasi bencana.

Dalam penyusunan dan penggunaan peta Zona Rawan Bencana (ZRB), pemerintah menetapkan zona penyangga pesisir pantai dengan lebar 100 meter dari garis pantai sebagai ZRB 4 Tsunami. Hal ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2018, yang mengatur penggunaan lahan dan persyaratan struktur bangunan berdasarkan kajian ilmiah serta penerimaan sosial masyarakat.

Pemantauan berkelanjutan dan sosialisasi kepada penduduk juga menjadi prioritas agar mereka memahami dan waspada terhadap risiko bencana
Dalam implementasi rencana, lokasi pembangunan elevated road dikategorikan sebagai ZRB 4, yang menuntut ketahanan tinggi terhadap tsunami. Dua jenis proteksi utama digunakan dalam pembangunan elevated road ini, yaitu Toe Protection dan Retaining Wall.

Toe Protection diterapkan pada wilayah dengan lahan yang cukup untuk membangun struktur miring (slope-type). Struktur ini berfungsi sebagai peredam gelombang tsunami dengan menggunakan block armor sebagai pelindung. Toe Protection juga memiliki peran penting dalam memperpanjang masa pakai infrastruktur dengan mengurangi dampak erosi akibat gelombang besar yang datang dari laut.

Sementara itu, Retaining Wall digunakan di area dengan keterbatasan lahan, khususnya pada bagian ujung pesisir yang harus memiliki ketahanan terhadap gempa dan gelombang tsunami. Retaining Wall memungkinkan konstruksi tetap kokoh meskipun berada di area yang memiliki keterbatasan ruang untuk pembangunan struktur miring. Selain itu, penggunaan material berkualitas tinggi memastikan daya tahan terhadap tekanan air laut dan potensi pergerakan tanah akibat gempa.

“Kedua struktur ini dirancang agar memiliki ketahanan terhadap bencana, sekaligus melindungi elevated road yang dibangun di kawasan pesisir,” ujar Rizky Ananda.
Selain itu, proyek ini juga mencakup penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi potensi bencana. Edukasi tentang langkah-langkah evakuasi, pemanfaatan jalur evakuasi yang telah disediakan, serta sosialisasi mengenai tanda-tanda awal tsunami menjadi bagian penting dari strategi mitigasi yang diterapkan di wilayah tersebut.

Dengan pembangunan infrastruktur yang berbasis mitigasi bencana, pemerintah berharap dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan tangguh bagi masyarakat pesisir Sulawesi Tengah. Langkah ini tidak hanya meningkatkan keselamatan penduduk, tetapi juga memastikan bahwa kegiatan ekonomi dan mobilitas di daerah tersebut tetap berjalan dengan lancar meskipun menghadapi ancaman bencana alam. Keberlanjutan proyek ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah dalam membangun infrastruktur yang adaptif dan tahan terhadap perubahan lingkungan.***