BERANTAS.ID, SULAWESI TENGAH – Proyek Preservasi jalan Molosipat-Lambunu-Mepanga-Tinombo senilai Rp48,57 miliar diduga terkatung-katung. Jejak masalah dalam tender 9 bulan yang lalu mencuat di tengah tak menentu kemajuan bobot progres fisik pekerjaan.
Kontraktor pelaksana dikabarkan mengajukan tambahan pencairan termin kedua ditengah progress fisik masih jauh dibawah rencana. Penyelesian proyek itu bisa mandek, potensi kerurgian keuangan Negara pun terbuka lebar.
Di tengah gencarnya proyek infrastruktur yang menggeliat, sebuah kisah kelam menyelimuti proyek preservasi jalan nasional dengan Nomor SPMK BM 0301/SPMK/PJ-MLMT/Bb 14.61/182 tersebut. Dengan nilai kontrak sebesar Rp48,57 miliar, proyek yang di biayai dari APBN Tahun Anggaran 2024 ini dikerjakan oleh PT Bagaskara Pratala Manunggal, perusahaan asal Klaten.
Namun, di balik janji pembangunan, tersembunyi jejak ketidakberesan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Proyek ini tak hanya terkatung-katung, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan transparansi dalam pelaksanaannya.
Berikut adalah laporan hasil investigasi lapangan media ini bersama tim yang menguak tabir gelap di balik proyek yang diduga sarat kepentingan tersebut.
Proyek preservasi jalan nasional dengan Nomor kontrak :HK 02.01/SP/PJ-MLMT/Bb 14.61/182 ini adalah salah satu upaya besar BPJN Sulawesi Tengah untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan di Sulawesi Tengah. Ruas jalan sejauh 144,60 km ini menjadi jalur penting bagi mobilitas masyarakat dan distribusi barang.
Dengan dana sebesar Rp48,57 miliar yang digelontorkan, PT Bagaskara Pratala Manunggal diberikan tanggung jawab besar untuk menyelesaikan proyek ini. Namun, sejak awal, proyek ini telah menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan. Sejak penandatanganan kontrak pada bulan Februari lalu, proyek ini dikabarkan telah mengalami Show Cause Meeting (SCM) hingga kedua kali.
Dari keterangan Sumber yang enggan disebut namanya membeberkan bahwa kontraktor telah menarik dana termin kedua, sementara bobot progres fisik masih sangat rendah.
“Mereka baru mengerjakan pembersihan saluran, pemarasan rumput, dan beberapa perbaikan lubang, yang nilainya hanya sekitar 3-4 persen dari total proyek” ujar sumber yang meminta identitasnya tidak di publis. Bahkan, pengerjaan box culvert, yang seharusnya menjadi bagian dari pekerjaan utama, belum juga dimulai.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan dilokasi proyek, ditemukan bahwa progres fisik di lapangan sangat jauh dari target yang seharusnya. Dengan uang muka sebesar 20 persen dari nilai kontrak dan termin pertama yang sudah dicairkan, bobot pekerjaan seharusnya sudah mencapai 30 persen.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan angka yang sangat berbeda, dengan progres hanya sekitar dibawah 20 persen. Ketidakberesan ini membuka potensi kerugian negara yang sangat besar, terutama jika proyek ini tidak diselesaikan tepat waktu.
“laporan informasi yang saya terima bahwa bobot fisik pekerjaan tidak sebanding dengan bobot keuangan yang sudah dicairkan. Dari dana uang muka dan termin pertama yang sudah ditarik lebih dari Rp10 miliar, progres fisik di lapangan jauh dibawah rencana. Padahal, dengan dana sebesar itu, seharusnya progres fisik minimal sudah mencapai 20 persen” beber sumber.
Laporan investigasi media ini bersama tim pada 2 Agustus 2024 lalu, terungkap bahwa proyek ini diduga kuat telah menguras kas negara tanpa diiringi oleh kemajuan yang progress fisik pekerjaan. Di sepanjang ruas jalan yang melewati Kecamatan Tinombo, Palasa, hingga Tomini, masih banyak ditemukan jalan yang berlubang yang dibiarkan begitu saja. Di desa-desa seperti Ulatan, Tibu, Babalo, dan Tibu 2, kondisi jalan yang rusak parah semakin mempertegas bahwa proyek ini belum menyentuh aspek vital perbaikan infrastruktur.
Sementara di wilayah Lambunu-Mepanga, situasi tak jauh berbeda. Desa Mensung, Malino, Bolano, dan sekitarnya, masih dipenuhi jalan-jalan berlubang dengan rumput yang hampir menutup badan jalan. Sementara itu, di ruas Molosipat-Lambunu, seperti Desa Taopa, Ogodako, dan Ogotion, beberapa jembatan terlihat tak terurus. Galian bahu jalan di Gunung Santigi pun hanya dibiarkan begitu saja, tanpa penanganan yang memadai.
Kondisi ini semakin parah dengan tidak adanya terlihat alat berat milik perusahaan PT Bagaskara Pratala Manunggal dan tenaga kerja di lapangan.
“Disana itu pekerjaan hanya sebatas pembersihan saluran, pemarasan rumput, dan penambalan lubang. Bahkan, ada laporan bahwa material aspal baru sekitar 150 ton dari perusahaan PT SIlkar, jumlah yang jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan proyek sebesar ini” ungkapnya.
Sumber juga menegaskan Jika temuan ini terbukti benar, konsekuensinya bisa sangat serius. Menurutnya proyek ini bukan hanya bisa dianggap gagal, tetapi juga dapat menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam tuntutan hukum. Potensi kerugian negara yang mencapai miliaran rupiah dapat menjadi dasar bagi tindakan hukum lebih lanjut, termasuk pemutusan kontrak dan blacklist bagi perusahaan kontraktor.
Selain itu, proses pengembalian dana uang muka ke kas negara dan penyitaan jaminan pelaksanaan menjadi langkah yang harus dilakukan.
“Kalau uang muka proyek di pake disitu, sekarang paling sedikit bobotnya sudah 20 persen,” tegas sumber. Jika tidak, negara akan kehilangan sejumlah besar uang, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan perbaikan jalan dan jembatan.
Sumber juga mengungkapkan bahwa PT Bagaskara Pratala Manunggal diduga memaksakan pencairan dana termin kedua meski progress fisik masih jauh di bawah target. Lebih ironis lagi, ada dugaan keterlibatan oknum yang berperan dalam proses pencairan dana yang tidak semestinya ini.
Sumber lantas mempertanyakan: “kemana perginya dana uang muka proyek sebesar Rp10 miliar dan pencairan termin pertama yang seharusnya sudah menghasilkan progress fisik?” Tanya sumber.
Sumber juga menyebutkan bahwa pihak kontraktor mencoba untuk menutupi kekurangan dengan mengupayakan termin kedua, meskipun bobot pekerjaan belum sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan. Dengan SCM 2 yang menunjukkan deviasi minus di atas 20 persen, seharusnya termin berikutnya tidak bisa dicairkan. Namun, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya, menimbulkan kecurigaan akan adanya praktik dugaan korupsi yang sistematis.
Menurut sumber keterlambatan dan ketidaksesuaian progres ini berpotensi membawa dampak serius bagi perusahaan kontraktor dan pihak terkait. Dengan bobot pekerjaan yang tertinggal jauh dari target, ada kemungkinan proyek ini tidak akan selesai tepat waktu.
“Perusahaan kontraktor akan terkena denda sebesar 50 juta rupiah per mil dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Selain itu, perusahaan juga menghadapi risiko pembekuan kontrak black list dan penyitaan jaminan pelaksanaan proyek” jelasnya.
Sementara itu Kasatker PJN wilayah II, Dr Yudha Sandyutama, ST, MT bersama PPK 2.1 Provinsi Sulawesi Tengah, Heryanto, ST,MT ketika dilakukan upaya konfirmasi melalui pesan whatsapp, enggan untuk memberikan klarifikasi. Sampai berita ini diterbitkan kedua pejabat yang bertanggung jawab menangani paket proyek Preservasi jalan Nasional Molosipat-Lambunu-Mepanga-Tinombo yang dikerjakan oleh PT Bagaskara Pratala Manunggal dengan nilai kontrak Rp48,576.273.900, belum dapat menjawab konfirmasi dari tim media ini.
Meskipun berdasarkan hasil penelusuran tim media ini, PT Bagaskara Pratala Manunggal yang di tunjuk sebagai pemenang melalui pelelangan tender pada paket proyek Preservasi jalan Molosipat-Lambunu-Mepanga-Tinombo tersebut akan melaksanakan sejumlah pekerjaan diantaranya sebagai berikut :
-Pemeliharaan rutin Jalan sejauh 84,36 Km yang meliputi Molosipat-Lambunu 39,06 Km, Lambunu-Mepanga 22,80 Km dan Mepanga-Tinombo 22,50 Km
-Sementara untuk pemeliharan rutin kondisi jalan sejauh 40,86 Km yang meliputi Molosipat-Lambunu 3,30 Km, Lambunu-Mepanga 14,33 Km dan Mepanga-Tinombo 23,23 Km
-Penunjang dan Holding sejauh 9,20 Km, Lambunu-Mepanga 5,50 Km dan Mepanga-Tinombo 3,70 Km
– Rehabilitasi Minor jalan sejauh 7,40 Km meliputi Lambunu-Mepanga 1,30 Km dan Mepanga-Tinombo 6,10 Km
-Rehabilitasi Mayor Jalan sejauh 2,50 Km meliputi Lambunu-Mepanga 2,00 Km, Mepanaga-Tinombo 0,50 Km
-Rekontruksi Jalan sejauh 0,30 Km meliputi penanganan di ruas Mepanga-Tinombo sejauh 0,30 Km
-Penanganan Drainase sepanjang 0,30 Km, Box Culvert Tompeng Km 318+650
– Penanganan Perkerasan Bahu Jalan sejauh 4,00 Km yang tersebar dibeberapa STS di ruas Lambunu-Mepanga
– Berkala Jembatan sepanjang 37,20 meter yang meliputi Jembatan Ogodako di ruas Lambunu-Mepanga sepanjang 20,00 meter dan penanaganan Jembatan Lambori sejauh 17,20 meter yang berada di ruas Mepanga-Tinombo
– Rehabilitasi jembatan sepanjang 118,80 meter yang meliputi Jembatan Taopa sepanjang 82,00 meter yang berada di ruas Molosipat-Lambunu, Jembatan Ogotion 20,50 meter dan jembatan Lambanau 9,30 meter yang berada di ruas Lambunu-Mepanga dan Jembatan Ambesia sepanjang 7,00 meter yang berada di ruas Mepanga-Tinombo
-Rutin jembatan dengan total panjang penanganan 838,20 meter yang tersebar di sepanjang ruas Molosipat-Lambunu-Mepanga-Tinombo
Dengan waktu yang semakin mendesak dan situasi di lapangan yang jauh dari ideal, masa depan proyek preservasi jalan nasional yang berada dibawa kendali PPK 2.1 Provinsi Sulawesi Tengah, Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II, kini berada di ujung tanduk. Jika dalam beberapa bulan ke depan tidak ada perkembangan, proyek ini berpotensi menjadi salah satu contoh kegagalan besar dalam upaya pemerintah meningkatkan infrastruktur jalan nasional.
Indikasi dugaan kebocoran anggaran dalam proyek ini merupakan cerminan dari masalah yang lebih besar dalam sistem pengelolaan proyek infrastruktur jalan nasional di Sulawesi Tengah. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama dalam setiap tahapan proyek, dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Inspektorat Jendral Kementrian PUPR, Dirjen Bina Marga, Direktur Kepatuhan, Direktur Preservasi wilayah II bersama dengan BPJN Sulawesi Tengah, diminta untuk turun perlu mengambil langkah tegas untuk mengusut dan melakukan audit tuntas persoalan ini dan memastikan bahwa setiap rupiah dari dana Negara yang digunakan sesuai dengan peruntukannya. Hanya dengan begitu, harapan akan infrastruktur yang lebih baik bagi masyarakat Sulawesi Tengah dapat terwujud. (Tim)