Berantas.id, Morowali Utara — PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) angkat bicara merespons berbagai pertanyaan publik mengenai status legalitas perusahaan yang kembali mencuat dalam polemik sengketa lahan di wilayah Mamosalato dan Bungku Utara.
Perusahaan yang telah hadir sejak 1997 itu menegaskan seluruh kegiatan operasionalnya berjalan berdasarkan regulasi perkebunan yang berlaku pada masa perizinan diterbitkan. Klarifikasi tersebut disampaikan langsung oleh Direktur PT KLS Sulianti Murad dan Asisten Direktur Ferdinand Magaline, menyusul agenda Mediasi Satgas Penanganan Konflik Agraria (PKA) Sulteng pada 10 Desember 2025.
Perusahaan Sebut Dokumen Legal Lengkap dan Berjenjang
Sulianti Murad memastikan bahwa PT KLS memiliki dasar hukum yang kuat sejak awal memasuki Morowali Utara. Segala aktivitas kebun inti–plasma perusahaan, kata dia, dilakukan berdasarkan izin resmi dari pemerintah sejak 1997.
“Seluruh kegiatan kami berada dalam koridor hukum. Yang kami butuhkan adalah jaminan kepastian berusaha agar investasi dapat berjalan,” ujarnya.
Ia juga menyebut hubungan perusahaan dengan masyarakat di tiga desa operasional—Taronggo, Posangke, dan Tokala Atas—tetap harmonis. Gesekan yang muncul, menurutnya, datang dari pihak yang tidak memiliki hubungan langsung dengan wilayah kebun perusahaan.
Kontribusi perusahaan, lanjutnya, telah berlangsung hampir 30 tahun, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga setoran pajak dan pembelian TBS dari mitra plasma yang mencapai sekitar Rp5 miliar per bulan.
Izin Terbit Sejak 1997, Migrasi OSS Masih Berproses
Menjawab isu terkait OSS, PKKPR, maupun status HGU, Ferdinand Magaline menjelaskan bahwa PT KLS beroperasi jauh sebelum aturan-aturan baru tersebut diberlakukan.
“Perizinan kami mengikuti kerangka hukum pada zamannya. Ada izin lokasi dari Kantor Pertanahan Poso, pembaruan dari Pemkab Morowali tahun 2013, dan rekomendasi kesesuaian rencana makro perkebunan dari Pemprov Sulteng tahun 2015,” ujar Ferdinand.
Ia menambahkan perusahaan memiliki dokumen pembelian lahan berupa SKPT, SPT, dan sertifikat hak milik dari masyarakat. Proses migrasi perizinan ke OSS kini sedang berlangsung di Dinas Perizinan Morowali Utara.
Terkait HGU, Ferdinand menegaskan bahwa penguasaan lahan perusahaan didasarkan pada transaksi langsung dengan warga sejak 1997, bukan melalui pengajuan HGU baru.
PT KLS Bantah Tuduhan Intimidasi, Sebut Justru Sering Jadi Korban
Dalam mediasi bersama Satgas PKA, OPD Provinsi, OPD Kabupaten, dan unsur kepolisian–TNI, sejumlah warga mendesak agar aktivitas perusahaan dihentikan. Namun, menurut Ferdinand, kelompok tersebut tidak berasal dari desa operasional perusahaan.
Pihaknya juga membantah tuduhan intimidasi kepada warga.
“Kehadiran aparat keamanan justru untuk meredam situasi setelah aset kami dirusak. Beberapa kali kantor kebun dan TBS kami menjadi sasaran,” tegasnya.
Pemerintah Ungkap Temuan Teknis, Perusahaan Siap Hadirkan Dokumen
Dalam forum mediasi, pemerintah memaparkan temuan awal mengenai PKKPR, keterdaftaran OSS, serta ketiadaan permohonan HGU di Kantor Pertanahan Morowali Utara. Pemerintah juga menunjukkan adanya area yang bersinggungan dengan wilayah transmigrasi bersertifikat sejak 1982–1983.
Merespons itu, PT KLS menyatakan siap memberikan seluruh dokumen yang diminta Satgas sebelum batas waktu 19 Desember 2025.
“Kami terbuka. Semua pihak yang mengklaim lahan juga harus membawa dokumen resmi agar pembanding dilakukan secara obyektif,” kata Ferdinand.
Ia mempertanyakan mengapa klaim baru muncul pada 2025, mengingat perusahaan telah beroperasi hampir tiga dekade.
Minta Kepastian Hukum untuk Iklim Investasi yang Stabil
PT KLS menilai polemik yang berkembang tidak hanya terkait sengketa lahan, tetapi juga menyangkut kepastian hukum bagi investor yang telah berkontribusi lama di daerah tersebut. Ketidakpastian regulasi, menurut perusahaan, berpotensi merugikan petani plasma, pekerja, hingga perekonomian desa.
Sulianti berharap dukungan pemerintah daerah dan aparat keamanan agar iklim investasi tetap kondusif.
“Yang kami butuhkan hanyalah kepastian usaha. Aturan harus jelas dan ditegakkan,” ujarnya.
Terbuka untuk Dialog dan Penyelesaian Berbasis Data
Perusahaan juga menegaskan kesiapannya mengikuti rangkaian peninjauan lapangan oleh Satgas pada 11 Desember 2025. Dialog terbuka disebut sebagai langkah terbaik untuk mengakhiri konflik.
“Selama 27 tahun kami hidup berdampingan dengan masyarakat. Kami tidak ingin ada pihak yang memanfaatkan situasi ini,” terang Ferdinand.
PT KLS juga meminta pemerintah memastikan sinkronisasi regulasi, terutama yang berkaitan dengan tata ruang, perizinan, serta adaptasi terhadap aturan baru seperti PKKPR dan OSS.
Komitmen Tetap Sama Sejak 1997
Mengakhiri penjelasannya, perusahaan kembali menegaskan komitmennya terhadap pembangunan ekonomi lokal.
“Sejak 1997 kami hadir, berinvestasi, dan tumbuh bersama masyarakat. Komitmen itu tidak berubah,” ujar Sulianti Murad.
Dengan proses mediasi yang masih berjalan, PT KLS berharap penyelesaian dapat dicapai secara adil, objektif, dan menghormati hukum yang berlaku. ***






