Berantas.id, Palu – Setelah tujuh tahun penantian panjang pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi 2018, Jembatan Palu IV akhirnya berdiri megah di atas Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Jembatan yang digadang-gadang menjadi ikon baru ibu kota provinsi tersebut kini siap menghubungkan kembali mobilitas masyarakat, sekaligus membuka poros ekonomi strategis yang lebih kuat antara Palu dan daerah sekitarnya.
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Tengah Bambang S Razak, S.T., M.T. mengungkapkan bahwa pembangunan Jembatan Palu IV tidaklah mudah. Proses rekonstruksi menghadapi tantangan teknis yang cukup berat, terutama akibat material besar berupa sisa runtuhan Jembatan Ponulele yang masih menumpuk di dasar sungai. Kondisi ini membuat pekerjaan struktur bawah tak bisa langsung dilakukan dengan metode standar.
“Kami harus mencari metode alternatif agar pekerjaan bisa terus berjalan. Material runtuhan memang cukup menyulitkan, namun alhamdulillah berkat kerja keras semua pihak, jembatan ini akhirnya bisa diselesaikan,” ujar Bambang, Senin (22 September 2025).
Menurut Bambang, desain Jembatan Palu IV kali ini dibuat jauh lebih kokoh dan tahan terhadap potensi bencana. Jika sebelumnya hanya ada satu pilar, kini jumlahnya ditambah menjadi dua. Tiang borepile berdiameter 1,8 meter salah satu yang terbesar di Indonesia ditanam hingga kedalaman 65 hingga 69 meter untuk memastikan stabilitas struktur.
Pilecap ditempatkan pada elevasi -3 hingga -7, sehingga tetap aman meski terjadi tsunami. Sedangkan box girder diletakkan pada ketinggian +9 hingga +10 meter, lebih tinggi dari estimasi tsunami setinggi +6,257 meter. “Kami ingin memastikan bahwa jembatan ini bukan hanya dibangun ulang, tapi juga lebih tangguh menghadapi risiko ke depan,” tambahnya.
Selain itu, teknologi mutakhir juga diterapkan dalam pembangunan. Uji integritas tiang dilakukan dengan metode O-Cell test untuk memastikan kualitas borepile, sementara material strand berdiameter 25,6 mm asal Jepang digunakan karena lebih kuat dan efisien dibanding strand 15,24 mm yang umumnya dipakai di Indonesia.
“Secara teknis, ini adalah salah satu jembatan dengan spesifikasi terbaik yang pernah kami bangun di wilayah timur Indonesia,” kata Bambang.
Tidak hanya soal teknis, pembangunan Jembatan Palu IV juga melibatkan masyarakat lokal. Dari proses pembebasan lahan hingga penyediaan tenaga kerja, warga setempat turut berperan aktif. “Ini adalah jembatan kita bersama. Semangat kebersamaan inilah yang membuat Palu bisa bangkit,” tegasnya.
Jembatan ini diproyeksikan sebagai jalur utama distribusi logistik, kendaraan berat, dan mobilitas masyarakat. Dengan adanya jembatan baru, waktu tempuh antara Palu dan Donggala dapat memangkas signifikan. “Jembatan ini akan menjadi poros ekonomi baru. Barang dan jasa akan lebih cepat bergerak, sehingga ekonomi masyarakat ikut terangkat,” jelas Bambang.
Meski sempat muncul gagasan menjadikan jembatan ini destinasi wisata, BPJN menegaskan bahwa fungsi utamanya tetap sebagai infrastruktur konektivitas. Namun, tidak menutup kemungkinan pemanfaatan pariwisata dilakukan jika sudah melalui kajian teknis mendalam. “Jika ingin dijadikan destinasi, harus dipastikan benar-benar aman,” tambahnya.
Untuk menjamin kualitas, Jembatan Palu IV telah melalui serangkaian audit keselamatan jalan serta uji beban. Hasil awal menunjukkan konstruksi sesuai standar keamanan. Kendati demikian, sertifikat laik fungsi baru akan diterbitkan setelah pleno resmi Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ).
Bambang kembali menegaskan bahwa Jembatan Palu IV hanyalah salah satu bagian dari upaya berkelanjutan membangun kembali infrastruktur pascabencana di Sulawesi Tengah. Saat ini masih ada program pasca bencana lainnya, proyek Infrastruktur Jalan Daerah (IJD), serta berbagai paket pekerjaan rutin yang dibiayai melalui APBN.
“Ini adalah komitmen pemerintah untuk terus memperkuat infrastruktur Palu dan sekitarnya. Tujuannya bukan sekadar konektivitas, tetapi juga keselamatan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.
Dengan selesainya Jembatan Palu IV, masyarakat Palu kini memiliki simbol baru kebangkitan. Dari reruntuhan bencana, kota ini menunjukkan tekad bangkit, bukan hanya untuk berdiri kembali, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat, lebih terhubung, dan lebih sejahtera. (B1)