Berantas.id BUOL, SULAWESI TENGAH – Praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Buol kian mengkhawatirkan. Investigasi lapangan menemukan aktivitas tambang ilegal berlangsung terang-terangan dengan melibatkan puluhan alat berat jenis excavator yang beroperasi tanpa hambatan berarti dari aparat penegak hukum.
Di Gunung Bugu, Desa Kwalabesar, Kecamatan Palele, sedikitnya 20 unit excavator tampak aktif mengeruk material tanah yang diduga mengandung emas. Aktivitas tersebut berlangsung hampir tanpa jeda, siang dan malam, mengubah kawasan perbukitan menjadi hamparan tanah gundul, berlumpur, dan rawan longsor.
Tak hanya di Palele, PETI juga tumbuh subur di wilayah lain. Di Desa Bodi, Kecamatan Paleleh Barat, terpantau 5 unit excavator melakukan aktivitas serupa. Sementara itu, di Desa Busak, Kecamatan Karamat, jumlah alat berat bahkan mencapai 15 unit excavator. Total, lebih dari 35 alat berat diduga kuat beroperasi di sejumlah titik PETI di Buol.
Ironisnya, operasi PETI ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Alat berat keluar-masuk desa melalui jalan umum, bahan bakar disuplai rutin, dan aktivitas penggalian dilakukan di lokasi terbuka yang mudah diakses masyarakat.
“Kalau mau lihat excavator, tinggal datang saja. Semua orang tahu,” ujar seorang warga Desa Kwalabesar yang meminta identitasnya dirahasiakan. Ia menyebut, aktivitas tambang ilegal sudah berlangsung berbulan-bulan.
Menurut penuturan warga, tidak sedikit masyarakat yang resah. Selain merusak lingkungan, PETI juga memicu konflik sosial, merusak jalan desa akibat lalu-lalang alat berat, serta mencemari sungai yang menjadi sumber air bersih warga.
Dampak lingkungan dari PETI ini dinilai sangat serius. Penggunaan alat berat di kawasan perbukitan berpotensi memicu longsor, sementara limbah tambang yang diduga mengandung merkuri dan bahan kimia berbahaya mengalir ke sungai-sungai kecil yang bermuara ke wilayah permukiman.
Aktivis lingkungan di Buol menilai, pembiaran PETI merupakan ancaman jangka panjang. “Kerusakan hutan, pencemaran air, dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat hanya soal waktu. Negara akan menanggung biaya pemulihan yang jauh lebih besar,” kata seorang pegiat lingkungan setempat.
Maraknya PETI dengan skala besar memunculkan pertanyaan serius: siapa pemodal di balik puluhan excavator tersebut? Biaya sewa satu unit excavator, operasional BBM, hingga logistik pekerja jelas tidak kecil. Hal ini menimbulkan dugaan adanya cukong besar dan jaringan terorganisir yang mengendalikan tambang ilegal tersebut.
Sejumlah sumber menyebut, aktivitas PETI sulit berkembang tanpa adanya “jaminan keamanan”. Dugaan adanya pembiaran, bahkan perlindungan dari oknum tertentu, pun mencuat di tengah masyarakat.
“Kalau tidak ada yang membekingi, mustahil alat berat sebanyak itu bisa bekerja lama,” ujar sumber lain yang enggan disebutkan namanya.
Upaya konfirmasi telah dilakukan kepada Kapolres Buol terkait maraknya aktivitas PETI di sejumlah wilayah tersebut. Namun hingga berita ini diturunkan, Kapolres Buol AKBP Irwan, SH, MH, M.Tr.Opsla memilih bungkam dan tidak memberikan respons atas pesan konfirmasi yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp.
Hingga kini, belum terlihat tindakan tegas yang signifikan dari aparat penegak hukum. Padahal, praktik PETI jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman pidana penjara dan denda miliaran rupiah.
Publik kini mempertanyakan keseriusan Polres Buol, Polda Sulawesi Tengah, serta instansi terkait seperti Dinas ESDM, KLHK, hingga Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dalam menangani persoalan ini. Masyarakat mendesak adanya operasi penertiban menyeluruh, penyitaan alat berat, serta pengusutan terhadap aktor intelektual di balik PETI.
Kasus PETI di Buol bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan potret lemahnya pengawasan negara atas sumber daya alam. Jika dibiarkan, PETI berpotensi menjadi bom waktu ekologis dan sosial.
Warga berharap aparat tidak hanya menyasar pekerja lapangan, tetapi juga menindak tegas para pemodal, pemilik alat berat, dan pihak-pihak yang diduga melindungi aktivitas ilegal tersebut.
“Kalau hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, PETI tidak akan pernah berhenti,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Hingga kini, aktivitas PETI di Gunung Bugu, Desa Bodi, dan Desa Busak masih berlangsung. Aparat penegak hukum kembali diuji: hadir menegakkan hukum, atau terus absen menyaksikan emas Buol dikuras secara ilegal. (tim)
