
Berantas.id, Palu – Pertambangan emas di Kelurahan Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) yang saat ini dikuasai oleh PT Citra Palu Minerals (PT CPM), hingga kini masih menyisahkan berbagai persoalan di tengah – tengah masyarakat khususnya warga Poboya yang berada di lingkaran tambang emas milik Bakrie Group itu.
Berbagai persoalan dan konflik antara masyarakat dan perusahaan, masih saja terjadi seperti dugaan penyerobotan lahan warga olah PT CPM, munculnya konflik masalah tanah adat antara warga dan perusahaan, hingga kegiatan penambangan warga yang menurut perusahaan illegal dan telah banyak menelan korban dari warga para penambang.
Terbaru, tiga orang penambang dari Sulawesi Utara tertimpa longsoran saat melakukan aktivitas penambangan di Poboya pada Senin, 29 Agustus 2022. Satu dari tiga penambang itu, tewas tertimpa longsoran.
Akibat kejadian ini, pihak Polresta Palu akhirnya menghentikan semua aktivitas pertambangan yang dilakukan warga baik dari luar daerah Sulawesi Tengah maupun warga lingkar tambangan (Warga Poboya, Tanamodindi, Lasoani dan Kawatuna).
Menanggapi persoalan ini, salah seorang tokoh masyarakat Poboya, Sofyar angkat suara karena warga lingkar tambang saat ini sudah tidak bisa menambang lagi.

Menurutnya, lokasi longsor yang mengakibatkan warga dari Sulawesi Utara tewas berada di lahan milik PT CPM yang sudah dibebaskan dan itu terjadi di paritan yang memang dibuatkan oleh perusahaan untuk warga mengambil material agar warga tidak mengganggu aktifitas pemuatan material oleh perusahaan.
“Jadi, harusnya menanyakan kepada perusahan tentang kejadian itu. Patut diduga perusahaanlah yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut (longsor yang menewaskan warga) karena terjadi dalam wilayah kontrak karyanya,” kata Sofyar.
Olehnya, dia sangat menyayangkan ketika konflik lahan dengan warga, maka perusahaan berdalil bahwa ini adalah wilayah kontrak karya. Namun ketika terjadi musibah dan ada korban jiwa, maka bukan lagi wilayah kontrak karya yang diangkat tetapi masalah penambang liar atau biasa disebut Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Padahal dalam aktivitasnya, perusahaan juga tidak memperhatian keamana para pekerjanya seperti kejadian terbaliknya beberapa mobil perusahaan.
Kata Sofyar, ini membuktikan buruknya penataan sarana dan prasarana jalan di lokasi pertambangan yang telah dikuasai perusahaan.
“Kecelakaan armada perusahan, adalah indikasi buruknya penerapan manajemen pertambangan CPM,” tegasnya.
Seharusnya kata dia, dengan adanya aktivitas PT CPM sudah ada penerimaan daerah yakni Kota Palu dari pertambangan emas itu. Namun sampai saat ini belum diketahui berapa yang diterima daerah dari PT.CPM serta bagaimana CSR dari perusahaan.
Sofyar juga menyayangkan pernyataan oknum perusahaan yang telah merendahkan dan menghina raja di Sulteng, tokoh adat dan kelembagaan adat.
“Kita masyarakat ini semakin tahu dan paham siapa orang – orang yang betul – betul berpihak kepada masyarakat dan siapa yang hanya memanfaatkan masyarakat,” kesalnya.

Sementara Ketua Lembaga Adat Poboya, Moh Jafar Tondjigimpu sangat menyayangkan tindakan penghentian aktivitas pertambangan warga oleh pihak Polresta Palu, karena tidak memikirkan dampak lain dari tidak adanya lapangan kerja bagi masyarakat.
“Masyarakat sangat membutuhkan lapangan kerja, untuk bisa memenuhi kebetuhan sandang dan pangan mereka,” tandasnya.
Sementara humas PT CPM, Amran Amir yang dikonfirmasi membenarkan bahwa Tempat Kejadian Perkara (TKP) atas kejadian longsor itu, bernar dalam wilayah Kontrak Karya PT CPM.
“Kalau TKP dalam wilayah KK dan IPPKH OP CPM benar, tapi sejak Juni, CPM bersama aparat kepolisian dalam hal Polres Palu sdh mengimbau agar warga tidak lagi menambang karena potensi longsor yg besar, tapi warga ttp bekerja dengan mengabaikan keselamatan,” kata Amran Amir melalui pasan WhatsApp, Ahad (4/5/2022).
Menurutnya, atas kejadian longsor yang mengakibatkan tewasnya salah seorang penambang itu, polisi lagi melakukan penyelidikan, pemilik lubang dan penanggungjawab kongsi akan diperiksa. Begitu juga korban luka setelah sembuh nanti, serta saksi – saksi.
“CPM jelas tidak bertanggung jawab karena meskia kejadian itu ada di wilayah KK CPM, tapi itu bukan kegiatan CPM dan bagian dari rencana kerja CPM, juga bukan kontrantor atau karyawan kontraktor,” jelas Amran.
Dikatakan, ada dua kriteria yang tidak terpenuhi yakni; Pertama, kejadian menimpa bukan kepada karyawan perusahaan dan/atau mitra kerjanya. Kedua, kejadian bukan karena aktivitas/kegiatan penambangan yang resmi atau ada izin. ( Tony )