Berantas.id Sigi – Keberadaan tambang emas ilegal di kawasan konservasi Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) yang ada di Dusun Dongi-Dongi Kabupaten Poso terus berjalan tanpa ada penindakan hukum.
Adanya tambang ilegal ini selain mengancam ekosistem di kawasan konservasi BTNLL tentunya sangat merugikan negara, salah satu dampaknya adalah pencemaran lingkungan setempat.
Sebagai salah satu organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Cabang Sulteng menilai ada pembiaran dari pemerintah daerah terhadap aktivitas tambang ilegal di Dongi-Dongi.
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Khaeruddin mengatakan, meski belum memiliki data investigasi, WALHI sendiri telah melakukan upaya-upaya untuk tidak membiarkan aktivitas tambang illegal. “Pembiaran dalam hal ini, berada di Taman Nasional Lore Lindu yang pengelolaanya itu berada dibawah Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Sebenarnya kami sudah pernah bertemu dengan mereka, dan mereka juga agak kesulitan. Tapi harusnya mereka bisa mendorong untuk penegakan hukum,” ujarnya saat ditemui dikantor WALHI, Kamis (19/8).
Khaeruddin menuturkan, pihak aparat hukum (kepolisian) seharusnya melihat siapa aktor yang bermain di balik tambang tanpa izin. Pasalnya WALHI, kata dia tidak hanya menyoroti tambang yang tanpa izin melainkan menyoroti dampak dari kerusakan lingkungan hidup. Masih kata Khaeruddin, apabila aktor atau pemodal di balik tambang tersebut tidak ditindak secara hukum maka aktivitas tambang ilegal di Dongi-Dongi akan terus berlanjut.
“Kalau kami melihat ada upaya dari aparat hukum, tapi belum signifikan. Seharusnya pihak kepolisian secara professional menelusuri, apalagi dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Harusnya bisa menemukan aktornya. Kalau pihak kepolisian serius untuk mengungkap saya yakin bisa,” tuturnya.
Seiring berjalanya waktu jika aktivitas pertambangan itu masih berlanjut, menurut Khaeruddin, masyarakat setempat yang akan menjadi korbannya. Dalam amatannya banyak petani yang beralih menjadi penambang karena kurangnya perhatian pemerintah terkait pengembangan pertanian di wilayah tersebut, alhasil banyak masyarakat yang menjadi penambang dan banyak juga lahannya yang terpaksa harus dijual ke pemodal tambang untuk dapat bertahan hidup.
Sementara itu dengan adanya tambang mengakibatkan kurangnya ruang-ruang produksi pertanian dan jika hal ini tetap dibiarkan maka perkebunan di sana akan mati.
“Mereka hanya pekerja karena terpaksa melakukan kerja-kerja itu. Harusnya kalau pemerintah mendukung, itu bisa didukung dengan peningkatan produktivitas, dukungan teknologi. Tapi itu kan tidak terjadi di sana, mereka itu justru dikorbankan,” imbuhnya.






