Berantas.id, Tolitoli – Dalam beberapa waktu belakangan, aktifitas tambang emas ilegal atau penambangan emas tanpa izin (PETI) di Sungai Tabong, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), makin masif.
Padahal, lokasi tambang tersebut beberapa waktu lalu sudah ditertibkan dari aktifitas penambangan yang menggunakan alat berat jenis excavator.
Namun saat ini aktifitas di lokasi yang masuk wilayah Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol itu justru lebih ‘brutal’.
Jika sebelumnya kurang dari 10 unit excavator yang mengeruk kawasan yang menjadi resapan air tersebut, kini sekitar 30 alat berat sudah beroperasi di sekitaran sungai yang mengalir hingga Desa Janja, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli itu.
Pengerukan di bantaran sungai dilakukan para penambang menggunakan alat berat hingga kedalaman sekitar 15 meter untuk mengambil material yang mengandung emas.
Sekretaris LBH Progresif Sulteng Abd. Razak, SH mengatakan, kondisi tersebut harus segera dihentikan sebelum memicu bencana besar dan kerusakan lingkungan di wilayah Buol dan Tolitoli makin parah
“Tambang tanpa izin itu sudah jelas akan memicu bencana besar kepada masyarakat sekitar. Apalagi yang kami tahu, kegiatan tersebut tidak mempunyai aspek legalitas dan merusak lingkungan,” kata Abd. Razak kepada Berantas.id, Sabtu 2 Juli 2022.
Razak yang juga asal dari kabupaten Tolitoli ini menyebutkan, beberapa waktu lalu sudah dilakukan penertiban yang dilakukan aparat gabungan. Namun saat ini, ada lagi aktifitas di lokasi penambangan
Menurut Razak, sangat mungkin dampak dari aktifitas penambangan ilegal tersebut akan memicu bencana banjir bandang, yang merugikan masyarakat Kabupaten Buol dan Tolitoli, terutama di hilir Sungai Tabong.
Pasalnya, aliran Sungai Tabong yang menjadi lokasi penambangan tersebut mengalir ke dua wilayah, yakni Buol dan Tolitoli.
Sebelah timur hulu Sungai Tabong mengalir ke Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan Kabupaten Buol. Sedangkan hulu bagian barat Sungai Tabong mengalir hingga Desa Janja, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli.
“Jika terus menerus dibiarkan, dampaknya akan sangat mengerikan, karena bisa memicu bencana banjir bandang,” katanya.
Menurut Razak, jika sebelumnya di lokasi tambang tersebut hanya dilakukan masyarakat dengan cara mendulang secara manual, kini justeru menggunakan alat berat seperti exavator yang mengeruk material untuk diolah melalui talang berukuran jumbo.
“Setelah ditertibkan, aktifitas sempat berhenti. Tapi sekarang justeru aktifitas pertambangan lebih masif karena lebih banyak alat berat yang beroperasi di wilayah itu,” katanya.
Razak juga sangat menyayangkan tidak ada tindakan tegas dari aparat setempat, baik di wilayah Buol maupun di wilayah Tolitoli. Padahal menurut dia, pengangkutan alat berat untuk dioperasikan di lokasi tersebut jelas-jelas dilakukan secara terang-terangan.
Abd Razak menambahkan, seharusnya aparat Penegak Hukum (APH) di kedua daaerah (Buol dan Tolitoli) harus konsisten untuk memberantas perusakan lingkungan oleh pelaku PETI
“Apalagi lokasi yang menjadi aktifitas penambangan di sepanjang Sungai Tabong merupakan kawasan hutan resapan. Jika Hutan di lokasi tersebut rusak akibat penambangan, bukan tidak mungkin sewaktu-waktu menimbulkan bencana banjir bandang yang menerjang pemukiman masyarakat di hilir Sungai Tabong,” kata Razak.
“Para pelaku harus ditindak dengan tegas, karena pertambangan tersebut diduga juga tanpa Amdal dan tidak mengantongi ijin, karena itu termasuk penambang ilegal yang dapat dijerat dengan Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan/atau Pasal 12 UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar,” tegasnya. ***